Kondangan, Mohon doa restu dan amplopnya !

Hari-hari di bulan Rajab dan Sya’ban ini adalah hari yang penuh hajatan.Musimnya orang punya hajatan menikahkan anak,musim pengantin.Musimnya kondangan.Musimnya menyiapkan amplop.
Resiko hidup ditengah masyarakat Jawa ya begini.Mau hajatan nunggu hari baik dan bulan baik.Padahal semua hari dan bulan adalah baik,kenapa mesti nunggu.Kalau orang jawa pakai perhitungan hari berdasarkan pasaran, maka semua orang jawa akan bersamaan dalam
hajatannya. Karena apa.? Tentu saja karena perhitungan neptu orang jawa itu sumbernya sama.

Lalu apa imbasnya buat mereka yang tidak punya hajatan ? Ya tentu saja siap-siap terima undangan dan “diwajibkan” kondangan (bagi mereka yang merasa tidak enak sama tetangga).Bagi orang yang setengah “ndableg” hukumnya setengah wajib (hehe..he..!) dan bagi yang benar-benar ndableg saya tidak tahu. . Kondangan menurut saya ada yang terpaksa ada pula yang merasa terbiasa.Saya sendiri tidak tahu apakah setiap kali kondangan karena terpaksa atau terbiasa.Terpaksa ikhlas (ikhlas kok terpaksa ?), ikhlas yang dipaksakan,atau terbiasa terpaksa oleh budaya kondangan karena hidup sebagai makhluk sosial.? Entahlah.

Lucu juga ya kalau lagi terima undangan biasanya tertulis “Mohon Do’a Restu” tapi pada prakteknya jarang sekali yang saya lihat orang pergi kondangan lalu mendoakan,yang terjadi adalah mengisi buku tamu,menuju tempat hidangan makanan,makan.Selesai makan menyalami tuan rumah (shohibul hajat) dan sang pengantin tidak lupa diwajibkan melewati “Tempat Pembuangan Amplop ( TPA )” dan plung. .! Amplop berisi sejumlah duit pun dengan selamat berpindah tempat.Dari saku kita ke kendi/kotak yang telah disiapkan.Lalu ? Pulang.! Doa restu telah diwakilkan dua puluh ribu,lima puluh ribu,seratus ribu,atau berapa lah isi amplop yang kita berikan.Selesai sudah kondangan.!

Ada yang membuat hati saya terusik dan mengajak otak yang pas-pasan ini berpikir ihwal kondangan dan tradisi memberi amplop yang tercermin sekali pada saat musim-musim kawin/nikah dalam masyarakat kita.Pesta-pesta pernikahan digelar dan amplop menjadi bagian penting di acara ini. Kenapa penting? Karena di sini ada pergeseran makna dari amplop yang tadinya sebagai sarana menunjukkan perasaan “turut berbahagia” menjadi semacam beban kewajiban.

Secara etika sah-sah saja orang berpikir memilih cara mudah membahagiakan para mempelai dari budaya kado menjadi budaya sumbangan dana. Tapi ada pergeseran makna didalamnya ketika bentuk sumbangan tadi menjadi masalah bagi handai taulan yang berniat pergi kondangan. Misalnya,
‘saya harus nyumbang berapa ya biar ga malu-maluin?’

“Dulu si A nyumbang saya segini berarti saya harus nyumbang sekian.”

“Nyumbang 5 ribu ikhlas,50 ribu masih berpikir 2 kali,100 ribu ??

“Waktu nikahan anaknya Pak Anu saya ngamplop sekian,sekarang giliran saya hajatan berarti amplop Pak Anu isinya harusnya segini.”

Sumbangan berupa amplop sudah menjadi ukuran status sosial.Semakin besar nilai uang di dalam amplop semakin tinggi pula statusnya.Yang menyumbang banyak lain statusnya dengan yang sedikit.Manusia
kita lebih suka menilai dari total rupiah yang kita keluarkan.Sedikit banyak karena gengsi,agar tidak malu dan malu-maluin.

Saya kadang tidak habis pikir ketika mendapat undangan pernikahan tiba-tiba sebuah keluarga menjadi sangat royal dan pusing dadakan,padahal untuk beli beras aja masih ngalor ngidul cari pinjaman.Berbagai upaya diusahakan asal bisa kondangan/nyumbang,demi sebuah status dan nama baik serta kelipatan uang kembali jika menggelar acara serupa untuk anaknya kelak.

Acara pesta pernikahan sudah menjadi lahan mengeruk rupiah dari tamu undangan.Masyarakat kita seakan berlomba mengadakan pesta yang wah,undangan pun disebar sebanyak-banyaknya bahkan terkadang kepada orang yang tidak dikenal.Saya sendiri sering mengalami, dapat undangan dari orang tidak dikenal. Harapannya tentu saja bisa mengembalikan modal pesta perkawinan tsb.
Sangat disesalkan ketika budaya kondangan plus amplop (baca:nyumbang) ini bukan lagi sarana mempererat kekeluargaan tetapi justru menjadi Sarana mengeruk untung. Nilai kekeluargaan digantikan nilai ekonomi kapitalis.Seolah semua bisa diukur dan dinilai dengan uang.

Sulit untuk menilai apakah tradisi kondangan (plus amplopnya tentu saja) sebagai bentuk ungkapan rasa kasih sayang dan kekeluargaan atau sebagai tuntutan masyarakat ??

Kondangan bikin bangkrut ?

Enggak juga.Untuk kaum buruh yang punya penghasilan Rp 40.000 per hari memang berat.Bayangkan jika dalam seminggu dia harus kondangan di tujuh tempat berbeda dengan minimal sumbangan Rp 20-25 ribu (standar orang di kampung saya) maka habislah buat kondangan.
So,bila menghadapi musim kondangan Haruslah tetap berhitung dan bersikap bijaksana.Jangan memaksakan diri jika tak punya apalagi kalau harus kondangan ke tempat agak jauh yang perlu waktu dan biaya.

Harapan
besar seorang mengundang
seorang lainnya adalah doa
restu. itu sudah lebih dari cukup,itu sudah luar biasa, suatu silaturahim terikat disitu, bukan karena amplop atau kendi-kendi/kotak-kotak
yang dijejerkan di pintu masuk,tapi karena sebentuk harapan tulus untuk kebahagiaan para pengantin.Masa’ iya mau lihat pengantin aja harus bayar ??

Ah, ini sih pendapat pribadi saya.Bagaimana dengan Anda ??

13 responses

  1. dipempatku banyak orang kondangan jadi banyak utang

    Suka

    1. terlalu memaksa buat bisa kondangan kali, mas..

      Suka

  2. […] orang terdekat bahkan sampai yang tidak aku kenal sekalipun. Jadi ingat postinganya sobat blogger SukananyA dimana “mohon doa restu” bisa saja merupakan wujud lain dari “mohon dua puluh ribu” . […]

    Suka

  3. wah jadi terinspirasi sesuatu…. ;D

    Suka

    1. asal jangan terinspirasi untuk tidak kondangan . . Hehehe.

      Suka

  4. waah… ternyata ada juga rekan sepemikiran….
    sangat disayangkan bahwa sekarang ini kondangan dijadikan lahan bisnis…

    Suka

    1. Terima kasih kunjungannya.
      Jadi kawatir juga,jangan2 takziyah pun nantinya dikomersilkan. .Hehe. .

      Suka

      1. ahaha… mudah2an aja nggak…

        Suka

      2. Semoga. .
        Soale yang namanya duit bin uang ini kayak virus flu,kaya miskin oke aja. .Belum liat tuh orang bosen sama duit…Hehehe…

        Suka

  5. sebenarnya bukan lihat pengantinnya yang harus, tapi biaya makannya hiihi 😀
    aku setuju sama kamu, kata-kata “mohon doa restu” sekarang hanya jadi pelengkap hiasan hajatan aja..

    Suka

    1. Begitulah kita dan masyarakat yang sering terjebak dalam rekayasa-rekayasa..Mohon doa restu pun bisa direkayasa buat mohon dua puluh ribu. .

      Suka

Tinggalkan komentar